Assalamu'alaykum sobat..
pengen ngeshare cerita hikmah nih.. kasian kalo cuman bersarang di dokumen pc..
yaudahdeh nggak lagi pengen basa-basi,
happy reading, dan semoga bermanfaat :)
pengen ngeshare cerita hikmah nih.. kasian kalo cuman bersarang di dokumen pc..
yaudahdeh nggak lagi pengen basa-basi,
happy reading, dan semoga bermanfaat :)
Aku ingin menjadi istrimu,
tulis gadis itu.
Kulipat kembali surat itu. Surat yang telah kusam karena
telah terlalu sering kubaca. Bahkan aku masih hafal semua kalimat dalam kertas
biru itu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan dan tak peduli bila
terkesan aku yang melamarmu. Lagi pula apa salahnya meminta pria berbudi
menjadi suami? Maka, Agam, sudikah?
Aku melihatnya pertama kali di pinggir jalan raya,
dikerumuni beberapa puluh orang. Waktu itu ia sedang menyampaikan orasi
mengenai sikap pemerintah dan GAM terhadap wilayah ini. Ia berbicara sambil
menangis mengenai penderitaan ribuan janda dan kanak-kanak Aceh berpuluh tahun
terakhir. Jilbab putihnya berkibaran seperti mengiringi gelora bicaranya. Gila,
pikirku. Apa ia tak takut ditembak seseorang atau diculik?
Baru saja aku berpikir seperti itu, beberapa aparat datang,
membubarkan massa dan menghardiknya.
Cut Vi.
Untuk kedua kalinya kami bertemu, lagi-lagi di pinggir
jalan, tepatnya di depan sebuah supermarket. Waktu itu aku baru saja turun dari
mobil dan bermaksud membeli makanan kecil. Ia dan temannya sedang
mengangkat-angkat kardus, sementara di sekitar mereka terlihat pula beberapa
tas plastik berisi belanjaan.
Dan begitu memandangku yang belum dikenalnya, ringan sekali
ia berkata, “Maaf, teman saya tidak berhasil mencari angkutan. Boleh
kami di antar ke suatu tempat? Tidak jauh. Oh ya, kenalkan, saya Cut Vi dan ini
teman saya Intan,” ujarnya beruntun.
What? Dalam
hati aku tak habis pikir. Ini anak, tidak kenal kok berani-beraninya minta
bantuan?
“Kami mau membawa ini ke inong bale,” tambahnya lagi sambil tersenyum. Teman di sampingnya yang
juga berjilbab dengan rasa tak enak dan tampak malu, menunduk saja sambil
sesekali menyikut gadis itu.
Apa yang bisa kukatakan? Kuhela napas panjang, mengangguk
dan mencoba tersenyum.
Hari itu kami berkenalan. Cut Vi masih kuliah, duduk di
semester tujuh jurusan bahasa dan sastra Indonesia di Unsyiah. Kesibukannya
selain kuliah adalah sebagai relawan LSM. Kadang ia mengajar anak-anak korban
DOM yang tersebar di beberapa panti asuhan. Juga mendampingi beberapa perempuan
yang mengalami trauma. Di sela waktunya, ia suka menulis.
“Panggil saya Agam,”
kataku. “Saya kelahiran Bireun, tapi besar di Jakarta.” Kukatakan juga
aku baru saja lulus dari Fakultas Ekonomi UI dan berencana mengamalkan ilmu
yang kudapat di Banda Aceh.
“Nah sudah saatnya bagi Agam untuk kembali dan membangun
tanah kita,” katanya semangat. “Jangan pergi
terus.”
Kami tersenyum bersama.
Setelah kejadian itu kami tak terlalu akrab juga. Namun
kadang Cut Vi meneleponku. Bukan, bukan memintaku untuk membantu dirinya,
melainkan memintaku untuk membantu orang lain.
Lama kelamaan bukan lagi Cut Vi yang meneleponku. Tetapi
entah aktivis LSM mana, entah anak panti asuhan mana, aku pun tak tahu.
Tiba-tiba aku sudah menjadi “Cut Abang” bagi mereka semua. Dan dari mereka pula
aku mulai tahu banyak hal mengenai Cut Vi.
“Dia anak kedua.”
“Bapaknya guru, mati ditembak di depan rumahnya waktu mau
pergi mengajar.”
“Iya, abangnya juga sudah mati!”
“Sekarang ibunya berjualan kue di pasar.”
“Cut Vi mencari tambahan uang dari menulis.”
“Di LSM itu Cut Vi tak digaji!”
Begitu kata beberapa orang yang mengenalnya.
Satu yang mengganjalku mengenai Cut Vi: ia terlalu berani.
Aku sering menasehatinya untuk tidak terlalu vokal, tidak terlalu gencar dalam
mengkritik pemerintah maupun GAM. Apalagi ia sering melakukannya di jalan raya,
juga dengan menyebarkan pamflet.
“Bismillah saja. Aku bicara, aku menulis. Aku menyampaikan
kebenaran di mana aku bisa. Tak harus ditentukan tempatnya,” jawabnya lugas.
“Tapi kau tahu banyak yang mati dan diculik entah oleh
siapa?”
“Kalau itu dalam rangka memperjuangkan kebaikan untuk orang
banyak, mengapa tidak resiko itu ditempuh, Agam?”
“Dasar keras kepala!”
“Hmmm, dasar temannya keras kepala!” balasnya.
Aku menganggap Cut Vi dan Intan sebagai adik. Adik yang tak
pernah kumiliki. Tapi Bang Ismail, kakakku tak percaya. “Mungkin kau suka
pada salah satu di antaranya? Nah yang tak kau suka bolehlah buat Abang. Atau
temanmu yang kau ceritakan itu saja yang buat abang. Yang ada di Jakarta.
Siapa? Mawar? Melati? Lupa aku!”
Dasar bujang lapuk.
Beberapa lama tak bertemu dengan Cut Vi, kudengar ia pergi
ke Jakarta. Katanya mau ke DPR, juga ingin orasi di depan istana. Oh, gadis
macam apa kenalanku ini? Aku melihatnya beberapa kali di televisi. Wajah keras,
kalimat lugas, hati baja. Itu memang dia.
Waktu berlalu dan aku tenggelam dalam pekerjaanku di sebuah
perusahaan besar di Banda Aceh. Cut Vi dan Intan juga sudah lama tak
menghubungiku.
Tenang saja, kalau kami tak menghubungi Agam,
berarti ada orang lain lagi yang bisa diberdayakan!
Aku geli sendiri mengingat perkataan Cut Vi itu. Kadang
harus kuakui aku sedikit rindu dengan aktivitas sosial kami.
Sampai suatu pagi aku terlonjak mendengar suara Intan di
telepon.
“Agam, Cut Vi hilang!”
Tanganku mengepal dan tak kusadari mendarat keras di atas
meja kerjaku. Kertas-kertas berhamburan. Gila, hal yang kukhawatirkan tentang
gadis itu terjadi!
Illahi, jangan sampai gadis sebaik Cut Vi mati secepat ini.
Ya mudah-mudahan tak ada yang menculiknya. Semoga ia hanya pergi ke suatu
tempat dan belum sempat memberi kabar. Semoga….
“Dia pasti diculik!”
kata Intan panik. “Sudah lebih dari tiga hari.”
Tapi siapa yang mau menculiknya?
Aku, Intan dan beberapa teman mencoba mencarinya ke berbagai
tempat yang kira-kira sering atau pernah dikunjunginya. Kami mendatangi hampir
semua teman LSM, berbagai panti, inong bale. Sia-sia. Cut Vi
lenyap tanpa bekas.
Sejak hari itu aku berlangganan lebih dari satu koran dan
lebih rajin menonton televisi. Sering juga kusempatkan diri menjenguk Mamak Cut
Vi yang sebatangkara.
“Aku hanya mengharap seorang cucu darinya. Kini ia juga
pergi.” Suara tua itu tanpa intonasi,
wajahnya miskin ekspresi. Mungkin karena ia begitu sering kehilangan.
Hari berlari dan lagi-lagi aku gagal menghilangkan Cut Vi
begitu saja dari memori. Di sela-sela waktu aku mengunjungi anak-anak di panti
tempat Cut Vi mencurahkan perhatian. Melalui bola mata suram kanak-kanak itu
yang sedikit menyala saat bercerita tentang Cut Vi, aku tahu betapa gadis itu
sangat dicintai.
Maka aku seperti dikejutkan para serdadu, ketika suatu pagi
Intan menelepon: “Agam, Cut Vi sudah kembali! Dia dirawat klinik dekat panti!”
Dadaku berbuncah. Di klinik, tak percaya aku dan Intan
memandang wajah pucat dan tirus Cut Vi. Gadis itu tergolek lemah. Berat
badannya susut, tapi bibirnya melengkung lebar, menghias manis wajahnya.
“Apa yang terjadi, Cut Vi?” tanyaku ingin tahu.
“Tak ada, semua baik,”
katanya.
“Kau ini. Siapa yang menculikmu?” desakku.
“Ada sekelompok orang ingin berdiskusi denganku. Mereka
membawaku ke dalam hutan. Dan sekarang mereka sudah mengembalikanku. Oh ya, Intan,
bagaimana kabar anak-anak panti, kabar ibu-ibu di inong bale?” tanyanya. “Aku sudah tak sabar untuk bertemu mereka!”
Aku dan Intan hanya bisa menarik napas panjang. Cut Vi
ditemukan seseorang di pinggiran kota dalam keadaan lemah lalu diantarkan
ke klinik. Dan kini ia tak mau bila kami mengorek kembali peristiwa yang
menimpanya. “Mereka cuma mau mengobrol. Aku tidak disiksa sama
sekali,” ujarnya. “Sudahlah.”
Tak lama kemudian dengan gembira ia berkata, “Novel
pertamaku akan terbit.”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Ia mengalihkan
soal penculikan ke persoalan novel. Dan semangat itu mengalahkan sakit yang
masih membias di wajahnya.
“Selamat!”
seruku dan Intan nyaris berbarengan..
“Nanti lihat halaman persembahannya ya. Ada kejutan,” tuturnya padaku dengan mata bintang yang datang tiba-tiba.
Namun hal yang paling mengejutkan tentang Cut Vi datang
sebulan kemudian, lewat sepucuk surat yang ia tujukan padaku.
Aku ingin menjadi istrimu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan dan tak peduli bila terkesan
aku yang melamarmu. Lagi pula apa salahnya meminta pria berbudi menjadi suami?
Maka, Agam, sudikah?
Ya Allah, Cut Vi! Apa ini? Lamaran? Apa yang harus kukatakan
padanya?
Jujur aku tak memiliki perasaan istimewa pada Cut Vi. Aku
merasa tak pernah memberikan harapan. Aku hanya mencoba bersikap baik. Aku
simpati, kagum terhadap dirinya, kegigihannya dalam membantu orang lain.
Aku sendiri memang berencana melamar seseorang. Dan itu
bukan Cut Vi, tapi Mawar. Aku dan Mawar sebenarnya tak mempunyai ikatan apapun.
Dia bukan kekasih atau tunanganku. Kami hanya pernah sama-sama aktif dalam
berbagai kegiatan kemahasiswaan di almamater kami. Aku tertarik pada
kepribadian dan tentu saja kecantikannya. Tampaknya ia pun begitu. Bulan depan
aku berniat ke Jakarta dan memintanya menjadi istriku.
Namun bagaimana kusampaikan ini pada Cut Vi? Batinku
berguncang, seolah dilanda gempa.
Dan gempa di hatiku tak disangka menjadi gempa betulan pagi
ini di Aceh.
Aku, keluarga dan masyarakat sempat panik. Alhamdulillah
gempa itu tak menghasilkan kerusakan yang berarti. Aku juga masih bisa pergi ke
kantor, meski terlambat. Surat Cut Vi yang sudah berkali-kali kubaca, masih ada
di kantong bajuku. Entah mengapa aku begitu resah. Aku menyukai Mawar tapi aku
tak bisa melupakan Cut Vi. Kalau kutolak, apa yang akan dilakukan Cut Vi? Gadis
itu tegar, mengingatkanku pada Cut Nyak Dhin. Pada Cut Meutia. Pada Pocut Cut
Meurah Intan. Mungkin aku sedikit berlebihan. Yang pasti ia penuh cinta dan
pengertian. Sedang Mawar? Wajah cantiknya menari-nari di hadapanku. Senyumnya
yang manis, karakternya yang lembut, bahasanya yang santun….
Mobil kukendarai begitu pelan. Sekonyong-konyong….
“Lariiiiii! Aiiir, aiiiiirrr!!”
Aku terkejut mendengar berbagai teriakan dan jeritan. Tak
jauh di belakangku banyak orang berlari dan di belakang mereka…air! Air? Ombak?
Gelombang besar hampir setinggi pohon kelapa? Apa aku tak salah lihat? Ya
Allah, apa ini?
Aku gugup. Tiba-tiba mobilku mati. Tak ada waktu untuk
memperbaiki. Aku berlari bersama ratusan orang. Tak ada tempat tinggi di sini.
Aku tak tahu harus kemana. Aku berlari bagai terbang dan gelombang itu
terus menerjang, menggulung segala! Tak ada lagi yang kusebut kecuali Tuhan.
Pasrah. Bayangan Mak, Ayah, Bang Ismail melintas cepat dihalau gelombang. Lalu
Cut Vi, anak-anak panti….
Antara sadar dan tiada aku masuk ke dalam masjid dan meraih
sebuah pilarnya. Gelombang itu menerkam, menampar-nampar. Aku terkapar. Segala
rebah, runtuh.
Sunyi. Lamat kudengar suara-suara rintihan, lalu tangisan
pecah. Jeritan yang melengking, mengiris-iris sanubari.
Di mana aku?
Air menggenangi reruntuhan puing yang berserakan di
sekitarku. Gelombang itu telah melumat rumah, perkantoran, gedung, kendaraan.
Semua kini lebur dan membangkai. Sebuah perahu nelayan yang cukup besar, yang
harusnya ada di pelabuhan, kini mendarat beberapa meter saja dari wajahku!
Pastilah ia terhempas puluhan kilometer.
Masjid “Al Kautsar”, di dalamnya kini aku berada. Kuyup dan
ternganga. Masjid ini utuh. Hanya bagian bawahnya yang sedikit rusak disapu gelombang.
Aku batuk berkali-kali. Air berlumpur telah menjamah
kerongkongan dan masuk dalam paru-paruku. Nanar mataku menangkap tubuh-tubuh
bergelimpangan. Tuhan, apa itu? Mayat? Betul, itu mayat dalam berbagai posisi,
berbagai seringai ngeri. Aku tak mampu menghitung jumlahnya! Di atas
puing-puing di sebelah kiri masjid, seorang bocah tanpa baju, dengan mata tak
berkedip menatapku. Tak ada tangis.Hanya luka dan lumpur di badannya. Matanya
kaca. Mematung. Kosong. Poranda.
Untuk pertama kali seumur hidupku aku merasa sangat
sesak! Semakin sesak! Apa yang terjadi si serambi kami, Illahi? Ayah, Mak, Bang
Ismail? Bagaimana kabar mereka? Cut Vi? Ah mengapa aku sangat mencemaskannya?
Kurogoh kantong kuyupku. Tak ada lagi surat biru itu. Hanya
bubur kertas, lumpur dan serpihan pilu.
***
Keluarga kecil kami selamat namun banyak kerabat dan
tetangga yang tewas. Ayah dan Mak trauma. Kami memutuskan pindah ke
Jakarta. Apalagi memang tak ada yang tersisa di sana kecuali luka, puing serta
tubuh-tubuh yang terbongkar di tepi jalan.
Tapi hari ini, Dua minggu setelah peristiwa gelombang
Tsunami yang menghancurkan itu, aku kembali menapakkan kaki di Banda Aceh
bersama para relawan lainnya. Gebalau. Perih melanda saat mataku melayang ke
berbagai penjuru serambi. Di sana hanya ada puing-puing, ribuan mayat yang
belum semua bisa dievakuasi. Entahlah, jumlahnya mungkin melebihi korban Perang
Dunia. Lalu para pengungsi tanpa MCK. Mereka rawan penyakit, kelaparan dan
kedinginan. Ratusan bocah kehilangan ayah ibu. Ratusan orang kehilangan rumah
dan saudara. Di jalan, orang-orang gila berkeliaran.
“Saat kejadian itu, aku dan Cut Vi ada di panti. Cut Vi
berlari sambil menggendong dua bayi. Hingga kini kami belum bertemu lagi
dengannya. Entah bagaimana nasibnya. Mamaknya dipastikan tewas,” tutur Intan dengan mata merah.
“Cut Vi,”
bibirku bergetar menyebut namanya.
Sungguh aku berharap, aku merasa ia masih bernyawa,
berdenyut di suatu tempat. Tapi bagaimana kalau ia…? Rahangku mengeras,
pandanganku mengembun. Bayangan wajah Cut Vi, sikapnya yang berani dan apa
adanya. Aku….
Perlahan kuraih sesuatu dari dalam ranselku. Sebuah novel
yang kubeli di toko buku, di Jakarta. Tertulis: cetakan I, 27
Desember 2004. Pada halaman persembahan dapat kubaca jelas: buat Agam
Faris.
Kupandangi buku perdana Cut Vi itu lama. Kubaca judulnya: Aku
Pulang. Ah, kemanakah kau pulang, Cut Vi? Cut Vi tentu belum sempat melihat
atau memegang novel yang terbit sehari setelah gelombang tsunami itu. Apakah
novelmu berakhir dengan bahagia, Cut Vi?
Sesuatu menyengat hatiku. Meremasnya berkali-kali.
Aku akan mencarinya. Aku harus mengetahui nasibnya. Aku
berharap Cut Vi hanya hilang seperti waktu itu. Sekejap, lalu kembali.
Bagai seorang “Cut Nyak”, mungkin kini ia sedang menolong seseorang atau
masyarakat di suatu tempat, seperti biasa.
Kupandang kembali novelnya. Sepucuk surat terselip di bagian
tengah buku itu. Kertasnya biru dan baru. Aku hafal betul bunyinya.
Aku ingin menjadi suamimu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan karena aku sangat peduli
padamu. Lagi pula memang selayaknya aku meminta gadis berbudi dan pemberani
untuk menjadi pendamping abadiku. Maka Cut Vi, sudikah?
Cut Vi menunduk. Untuk pertama kali sejak bertemu dengannya,
aku melihatnya tersipu, di bawah bayang-bayang senja.
Ya, Cut Vi tak akan pernah bisa betul-betul pergi. Ia abadi
saat aku memanggilnya atas nama kenangan.
cr : agastya.wordpress.com
cr : agastya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar